Teman Kecilku
Saat
masih kecil tempat tinggal saya no madden, hal ini dikarenakan saya harus ikut
ke mana Ayah saya ditugaskan. Ayah saya merupakan seorang karyawan proyek di
sebuah perusahaan swasta. Sejak kecil tempat tinggal saya selalu
berpindah-pindah. Saya sempat tinggal beberapa bulan di Bali, saat itu saya
masih berusia sekitar dua bulan, kemudian pindah ke Surabaya, Mojokerto, dan Jakarta.
Di Jakarta ini sepertinya yang paling lama saya tinggal. Saya sempat sekolah di
sana. Ketika di Jakarta saya juga sempat kembali ke Jombang tinggal dengan
Kakek dan Nenek saya, bahkan sempat sekolah TK, namun hanya beberapa bulan saya
mogok sekolah. Saya rindu dengan orang tua saya di Jakarta. Akhirnya Kakek saya
mengantarkan saya ke Jakarta ke tempat tinggal orang tua saya. Di Jakarta orang
tua saya tinggal di rumah kontrakan di daerah Kebon Jeruk Jakarta Barat. Sesampainya
saya di Jakarta saya tidak melanjutkan sekolah TK saya yang terhenti di tengah
jalan. Saya langsung didaftarkan oleh orang tua saya di Madrasah Ibtidaiyah,
semacam sekolah tingkat dasar namun dengan tambahan ilmu pengetahuan agama.
Di
rumah kontrakan tempat saya tinggal ada dua rumah lagi yang masih dalam satu
halaman. Rumah pertama adalah rumah pemilik kontrakan, rumah paling depan dan
paling luas. Pemilik kontrakan itu saya lupa namanya, tapi saya masih ingat
nama ketiga anaknya. Yang pertama adalah Mpok Ita, Bang Lobeh dan yang terakhir
usianya satu tahun di atas saya bernama Yuliana, yang menjadi teman mengaji dan
bermain saya. Di belakang rumah pemilik kontrakan itu adalah rumah kontrakan
yang ditempati orang tua saya, lalu di sebelah rumah saya ada satu kontrakan
lagi yang dihuni sebuah keluarga yang bernama Tante Monica dan Om Robertus
mereka memiliki dua orang anak, anak
pertama usianya kira-kira satu atau dua tahun di bawah saya namanya Yessica dan
adiknya masih balita sekitar satu tahun namanya Lorensius.
Yuli
dan Yessica adalah teman bermain saya sehari-hari yang semakin hari semakin
akrab. Kita bertiga memiliki kesukaan yang sama yaitu suka menyanyi, dan
bersepeda. Kita sempat mempunyai angan-angan akan membentuk trio seperti trio
kwek-kwek yang saat itu sedang naik daun. Biasanya kita bernyanyi di depan
rumah saya, you know what? Karena rumah
saya saat itu memiliki jendela kaca yang cukup besar sehingga kita bisa melihat
diri kita masing-masing saat bergaya dan bernyanyi. Saat sore atau minggu pagi
kami biasa bersepeda di komplek belakang tempat tinggal kami. Terkadang kami
juga ke Kedoya garden, sebuah lingkungan perusahaan swasta yang pernah menjadi tempat
Ayah saya bekerja.
Di
Kedoya Garden kita biasa bersepeda, belajar bermain sepatu roda atau sekedar
jalan-jalan. Tapi karena untuk menuju ke Kedoya Garden harus melewati jalan
raya, kita lebih sering bersepeda di komplek belakang. Setiap minggu pagi
setelah bersepeda biasanya kita sarapan bubur ayam bersama sebelum Yessica ke
gereja tentunya. Tempat tinggal kami tidak di pinggir jalan raya, tetapi
sedikit masuk gang yang bisa dilewati sebuah mobil dan gang tersebut merupakan gang buntu,
sehingga penjual bubur tidak masuk ke gang. Apabila ingin membeli kita harus
keluar gang untuk menunggu tukang buburnya lewat.
Selain
bermain dengan Yuli dan Yessi saya memiliki teman lagi namanya Mellina,
rumahnya di pojok paling belakang arah ke komplek. Melina usianya jauh di bawah
saya dan Yessi apalagi Yuli. Dia mempunyai seorang adik laki-laki, saya lupa
siapa namanya. Melina adalah keturunan china, tapi orang tua Melina tidak
memilih-milih untuk berteman sehingga seringkali kita main ke rumah Melina. Pernah
saat ulang tahun Melina saya, Yuli dan Yessi diundang, dan tentu saja yang
hadir adalah teman-teman sekolah Melina dan keluarga Melina. Di sana kita
bertiga tampak berbeda diantara yang lain, yang berkulit putih bening. Tapi mereka
semua baik dan tidak mengucilkan kami. Di sana saya sempat khawatir dengan
makanan yang dihidangkan Ibu Melina mengatakan bahwa itu sate ayam tapi ada
salah satu undangan mengatakan bahwa itu sate babi yang tentunya haram bagi
umat muslim seperti saya dan Yuli. Alhasil seingat saya di sana saya hanya
memakan telur rebus.
Pada
saat kenaikan kelas menuju kelas empat, saat itu di Jakarta banyak terjadi
kerusuhan. Indonesia mengalami krisis moneter. Banyak penjarahan di toko-toko
milik warga keturunan China. Ruko di dekat tempat tinggal saya tak luput dari
penjarahan. Saya sempat menyaksikan sendiri penjarahan besar-besaran terjadi. Banyak
orang pribumi membawa pulang barang jarahan mereka. Ada yang membawa kasur, komputer,
buah-buahan, piring, alat tulis dan lain sebagainya. Saya juga sempat diberi
tempat pensil berwarna merah oleh seseorang yang ikut menjarah toko milik warga
keturunan China itu. Saya juga sempat tidak mendapati angkutan kota yang
beroperasi sehingga saya harus pulang dengan jalan kaki dari sekolah sampai
rumah. Akibat dari krisis moneter banyak perusahaan melakukan pemecatan
karyawan besar-besaran termasuk Ayah saya yang juga ikut terkena imbas dari
krisis moneter. Sampai akhirnya kakek saya menyuruh orang tua saya untuk pindah
ke Jombang. Di saat yang bersamaan keluarga Yessi juga akan pindah rumah karena
rumah orang tua Yessi yang di Tangerang sudah jadi. Akhirnya kita bertiga
berpisah.
Sampai
saat ini saya tidak pernah tau bagaimana kabar mereka apakah mereka sudah
berkeluarga atau bagaimana. Pernah beberapa hari yang lalu saya mencoba menghubungi
nomor telepon keluarga Yuli, ternyata telepon itu masih digunakan. Tapi saya
tidak mempunyai keberanian untuk berbicara banyak, saya hanya sekedar telepon
untuk mendengarkan suara penerima dan mencoba untuk mengenalinya. Beberapa kali
saya mencoba menelpon tapi tak pernah sekalipun saya mendengar suara Yuli
mengangkat telepon dari saya. Saat saya menelpon saya mendengar seperti suara
Ayahnya, kemudian ada anak kecil perempuan entah itu anak siapa mungkin anak
mpok Ita atau Bang Lobeh. Dan hari ini tadi saya mencoba kembali menelpon rumah
Yuli dan saya beranikan untuk berbicara menanyakan tentang Yuli, sempat
menunggu agak lama. Kemudian telepon diangkat sepertinya itu suara Bang Lobeh,
lalu saya menanyakan apakah saya bisa berbicara dengan Yuliana? Lalu penerima
telepon itu menjawab
“Yuliana
belum pulang, ini siapa ya?”
“ini
saya Yulfi, kira-kira kapan saya bisa menghubungi Yuliana kembali?” Tanya saya
“mungkin
nanti jam 8 dia pulang”
“Baik,
nanti akan saya coba hubungi kembali jam 8, terima kasih Assalamualaikum”
Begitulah
kira-kira percakapan saya dengan seseorang di rumah Yuli. Ternyata nomor yang
saya ingat itu memang benar nomor Yuli dan sampai saat ini masih digunakan. Nanti
jam 8 saya akan coba menghubungi Yuli kembali, mencoba menyambung silaturahim yang
sempat terputus.